Jayapura,JayaTvPapua.com. – Dalam momentum memperingati Hari Tani Nasional, ratusan massa yang dimediasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menggelar aksi demonstrasi di sejumlah titik strategis di Kota Jayapura, yakni Expo Waena, Perumnas III Waena, dan Lingkaran Abepura, Rabu (24/9/2025).
Aksi ini berlangsung sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dinilai semakin mengorbankan hak-hak rakyat Papua, khususnya kaum tani dan masyarakat adat, dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam di tanah Papua.
KNPB menilai, meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 dan Tap MPR No. X/2001 telah mengamanatkan reformasi agraria, faktanya sampai hari ini persoalan perampasan tanah, pelanggaran HAM, ketimpangan kepemilikan, serta konflik agraria di Papua tidak pernah diselesaikan secara adil.
Sejak era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming, kebijakan pertanahan justru semakin memprioritaskan kepentingan modal dan investasi besar. Hal ini, menurut KNPB, berdampak buruk pada kehidupan masyarakat Papua yang kehilangan akses atas tanah adat dan ruang hidup.
“Operasi tambang besar seperti Freeport, minyak di Sorong, gas di Bintuni, hingga kelapa sawit di Merauke telah merusak ekosistem, mencemari sungai, meratakan hutan adat, dan menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah mereka sendiri. Ini bukan sekadar investasi, melainkan bentuk kolonialisme modern di Papua,” tegas penanggung jawab aksi, Agus Kossay, saat membacakan pernyataan sikap.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di hadapan massa aksi, KNPB menyampaikan 14 poin tuntutan utama kepada pemerintah Indonesia, antara lain:
1. Menutup semua perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua karena menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat adat.
2. Menghentikan perampasan tanah milik kaum tani di Papua dengan pendekatan militer.
3. Menghentikan pendropan militer organik dan non-organik untuk kepentingan investasi.
4. Mengakhiri pendekatan militer dalam penyelesaian konflik dan pelanggaran HAM di Papua.
5. Segera menyelesaikan konflik bersenjata yang menyebabkan puluhan ribu warga sipil mengungsi di berbagai wilayah, seperti Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Yahukimo.
6. Membebaskan seluruh tahanan politik dan tahanan perang di Papua maupun luar Papua.
7. Menghukum pelaku ujaran rasis terhadap orang Papua yang merendahkan martabat bangsa.
8. Membuka akses jurnalis asing untuk meliput situasi Papua secara bebas.
9. Menutup semua perusahaan asing maupun nasional di Papua, serta membuka ruang demokrasi untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum.
10. Menanggapi desakan internasional dan membuka akses bagi pemantau independen serta lembaga HAM dunia, seperti OHCHR.
11. Menolak kehadiran Presiden Prabowo Subianto di forum internasional, khususnya PBB, karena dianggap memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat.
12. Mendesak PT Freeport Indonesia melakukan evakuasi terhadap tujuh karyawan yang tertimbun, dengan jaminan keselamatan dan perawatan medis.
13. Menyerukan perusahaan multinasional agar mematuhi hukum buruh internasional, aturan lingkungan, dan prinsip keadilan sosial.
14. Mengajak solidaritas luas tanpa batas untuk melawan PT Freeport Indonesia.
Dalam momentum ini, KNPB menyebut pemerintahan Prabowo-Gibran sebagai “rezim kolonial” yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal ketimbang melindungi rakyat Papua.
Mereka menilai, pengelolaan sumber daya alam di Papua selama ini hanya menambah penderitaan rakyat. Kekayaan alam yang melimpah tidak membawa kesejahteraan, melainkan memperparah konflik, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Selain itu, KNPB juga menyoroti meningkatnya militerisasi di Papua, yang dinilai hanya memperburuk situasi keamanan dan memperbesar jumlah pengungsi sipil.
Dalam pernyataannya, KNPB menegaskan bahwa desakan internasional terhadap Indonesia terkait Papua tidak bisa terus diabaikan. Mereka menyinggung forum-forum regional dan internasional seperti Pacific Islands Forum (PIF) dan Melanesian Spearhead Group (MSG) yang secara konsisten menyatakan keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua.
Bahkan, dalam mekanisme Universal Periodic Review (UPR) PBB tahun 2022, lebih dari 10 negara anggota PBB mendesak Indonesia untuk membuka akses internasional ke Papua dan mengakhiri impunitas pelanggaran HAM.
Aksi di Jayapura berlangsung dengan pengawalan aparat keamanan. Massa membawa berbagai spanduk, poster, serta orasi yang menyoroti ketidakadilan agraria di Papua.
Hingga berita ini diturunkan, situasi di titik aksi masih ramai, namun relatif kondusif. Para demonstran menegaskan bahwa perjuangan rakyat Papua tidak akan berhenti, dan akan terus disuarakan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.