Mengapa ritual ‘Jalan Salib’ dipilih orang-orang Papua untuk menarik perhatian Paus Fransiskus soal Papua?

Laki-laki asli Papua memegang foto Paus Fransiskus di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta pada Rabu (04/09).

jayatvpapua.com – Orang-orang asli Papua melakukan ritual doa ‘Jalan Salib’ di Jakarta dan Jayapura ketika Paus Fransiskus bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (04/09). Mereka melakukan ritual tersebut demi menarik perhatian pimpinan tertinggi umat Katolik itu terkait isu Papua.

Di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta yang hanya berjarak dua kilometer dari Istana Negara, sejumlah orang asli Papua melakukanr ritual ‘Jalan Salib’.

Ritual serupa juga dilakukan ratusan orang di Jayapura, Papua, dipimpin sejumlah imam Katolik dan pendeta asli Papua.

Pekerja gereja dan aktivis perempuan dari Papua Barat, Esther Haluk, menyebut Jalan Salib yang mereka lakukan “menganalogikan penderitaan” yang dilalui masyarakat Papua.

Sebagai simbol perdamaian, Paus Fransiskus diharapkan dapat menyoroti berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Papua antara lain isu kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan eksploitasi lingkungan.

BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi sejumlah perwakilan Istana Negara untuk merespons kegiatan Jalan Salib ini, namun hingga artikel ini diterbitkan belum ada tanggapan.

Sebetulnya bukan kali ini saja gereja memiliki peran dalam topik Papua—terutama dari segi penyampaian suara dari masyarakat di provinsi bagian timur Indonesia itu.

Dalam berbagai peristiwa, gereja juga kerap menjadi tempat orang-orang asli Papua mencari perlindungan di tengah konflik bersenjata antara milisi pro-kemerdekaan dan aparat TNI/Polri.

Meski begitu, kenapa ritual Jalan Salib yang dipilih kali ini? Seberapa besar kemungkinan Paus Fransiskus mendengar aspirasi ini dan, terlebih lagi, apakah pemimpin umat Katolik itu benar dapat melakukan sesuatu? Dan, bagaimana sejarah Katolik di Papua?

Apa itu ritual Jalan Salib?

Jalan Salib memiliki makna spiritual yang mendalam bagi umat Kristiani mengingat ritual tersebut adalah bentuk pengungkapan iman untuk merenungkan penderitaan Yesus Kristus.

Dalam tradisi Katolik, Jalan Salib adalah rangkaian devosi yang mengenang perjalanan Yesus Kristus dari penghakiman hingga penyaliban. Devosi sendiri adalah bentuk pengungkapan iman bersifat mendalam dan spontan.

Dalam konteks kedatangan Paus Fransiskus, Esther Haluk menyebut Jalan Salib menjadi simbol penderitaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dia menceritakan bagaimana dalam tradisi Katolik, Jalan Salib menggambarkan rangkaian peristiwa yang menggambarkan perjalanan Yesus Kristus dari pengadilan Pontius Pilatus hingga penyaliban-Nya di Golgota.

“Dalam konteks [agama] Kristen, ‘Jalan Salib’ itu jalan penderitaan yang dialami atau dijalani oleh [Yesus] Kristus. Umat Tuhan di Papua sedang mengalami hal yang sama,” ujar Esther, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pelayanan Kaum Perempuan di Sinode Gereja Kemah Injil Papua (KINGMI), pada Rabu (04/09).

“Jalan Salib hari ini bertujuan untuk mengatakan bahwa di Papua tidak sedang baik-baik saja,” tegas Esther.

Mengapa Jalan Salib dipilih untuk ‘menyambut’ Paus Fransiskus?

Esther menyebut Jalan Salib dipilih karena, menurutnya, bentuk penyampaian suara lainnya “sudah dibungkam” dan “ruang demokrasi sudah tertutup”.

Dia menambahkan Jalan Salib seolah menjadi analogi “tangisan umat Tuhan di Papua”.

“Sambil berdoa, sambil merapat ke Tuhan, kami bawa persoalan-persoalan ini,” ujar Esther.

Beberapa isu yang dikedepankan Esther antara lain persoalan pengungsi, isu perampasan lahan, dan masalah lingkungan. Isu-isu kemanusiaan, perdamaian, dan lingkungan, menurut Esther, adalah isu-isu yang erat dengan sosok Paus Fransiskus.

Esther menyebut ritual Jalan Salib di Jayapura pada Rabu (04/09) diikuti ribuan jemaat dari semua denominasi gereja dan merupakan inisiatif dewan gereja Papua dan pastor-pastor setempat.

Paus Fransiskus, sambung Esther, tidak diagendakan mengunjungi Papua sehingga prosesi Jalan Salib yang meliputi doa bersama di jalanan diharapkan mampu “mengangkat penderitaan umat di Papua”.

Esther mengeklaim ritual mereka sempat hendak dihentikan aparat setempat. Meski begitu, dirinya optimistis aspirasi mereka akan sampai ke telinga Paus Fransiskus.

“Kegiatan hari ini bukan kegiatan kecil. Pasti Paus melihat bahwa ada sesuatu yang dilakukan di Papua,” ujar Esther seraya menambahkan pesan-pesan dari prosesi ini senada dengan nilai-nilai yang diusung Paus Fransiskus.

Hal serupa disampaikan Koordinator Front Pemuda Mahasiswa Katolik Papua, Jeeno Alfred Dogomo, yang ditemui BBC News Indonesia di depan Kedubes Vatikan di Jakarta, Rabu (04/09).

Meskipun aspirasi langsung dibatasi, Jeeno menyebut perkumpulan uskup-uskup orang asli Papua tengah berupaya menyampaikan aspirasi di Papua terhadap Paus Fransiskus dalam agenda lawatannya.

“[Perwakilan uskup dari Papua [akan] berusaha menyampaikan masalah itu secara langsung,” ujar Jeeno.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTP), Ambrosius Mulait—yang juga turut dalam prosesi Jalan Salib di Jakarta—meyakini Paus Fransiskus “sebenarnya sudah mengetahui persoalan orang Papua”.

“Yang jadi persoalannya, pemerintah Indonesia tidak menginginkan kami bertemu dengan Paus,” ujar Ambrosius.

Sama seperti Esther, Ambrosius menyebut polisi ingin menghentikan mereka di Jakarta. Bahkan, petugas kepolisian sempat merebut salib dan poster-poster yang dibawa para pengunjuk rasa.

“Kami menyayangkan aksi polisi yang represif,” imbuhnya.

Terpisah, Pastor Alexandro F. Rangga dari Ordo Fatrum Minorum (OFM) St. Fransiskus Duta Damai, menjelaskan bahwa masyarakat Papua melihat hidup mereka penuh penderitaan sejak berintegrasi dengan Indonesia.

“Ini berakar pada perbedaan ideologi politik Indonesia [dan] Papua,” ujar Alexandro.

Alexandro menyebut Jalan Salib dibuat untuk menarik perhatian Paus Fransiskus karena orang Papua yang mayoritas beragama Kristen merasa bahwa Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak mewadahi suara orang asli Papua sehingga mereka merasa perlu “menyampaikannya secara langsung kepada Paus”.

Salah seorang pimpinan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP), Markus Haluk, mengatakan gereja-gereja Katolik baik dari sisi sejarah maupun integritas “menjadi tumpuan dan harapan terakhir” bagi masyarakat Papua.

“Kita tidak bisa menafikan bahwa ada peran gereja-gereja lain, tetapi gereja Katolik dari sisi pengaruh dan dari sisi harapan umat memang besar,” ujar Markus.

Markus mengakui sejauh ini dirinya belum melihat Vatikan secara langsung menyampaikan sesuatu mengenai Papua. Meski begitu, dia menekankan sejarah perjuangan uskup-uskup di Papua yang baginya sudah memperlihatkan integritas mereka.

“Sampai saat ini [kalau Vatikan langsung] itu [Papua] termasuk yang diabaikan. Atau belum bersuara” ujar Markus.

Bagaimana Gereja Katolik masuk ke Papua?

Institusi Katolik Roma mendapat diskriminasi pada era kolonial Hindia Belanda, menurut At Ipenburg, pakar teologi yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi I.S. Kijne di Jayapura. Status itu berubah pada 1854 saat gereja Katolik mendapat izin untuk mengefektifkan kembali struktur gereja mereka.

Dalam riset Ipenburg berjudul Christianity in Papua, pada 1894 seorang pastor dari ordo Yesuit bernama Cornelis Le Cocq d’Armandville datang ke Fakfak dari Pulau Seram Maluku. Dalam 10 hari pertamanya di Fakfak, Le Cocq membaptis setidaknya 73 orang.

Paroki di Fakfak itu setahun kemudian tutup usai kematian Le Cocq. Setelahnya, Gereja Katolik Roma tak diizinkan membuka lagi paroki itu. Pemerintah kolonial Belanda beralasan, Fakfak adalah ”kawasan Protestan”.

Berdasarkan Pasal 123 Regeerings Reglement—setara undang-undang pada era kolonial Belanda—pembukaan pos misi agama harus mendapat izin pemerintah.

Pada 1902, Gereja Katolik Roma mendirikan Vikariat Nugini Belanda, istilah yang merujuk Tanah Papua sebelum pemerintah Indonesia mengubahnya menjadi Irian Jaya.

Tiga tahun setelahnya, Ordo Hati Kudus Yesus menugaskan para imam mereka ke Merauke, tanah orang-orang Marind-anim. Ipenburg menulis, para imam itu menerapkan kehidupan berbasis kampung yang berbeda dengan pola berpindah orang-orang Marind.

Para imam itu juga membuka sekolah asrama untuk anak-anak suku tersebut. Mereka harus meninggalkan kehidupan di alam terbuka dan diwajibkan memakai pakaian ala orang-orang Barat—sesuatu yang dikritik antropolog Paul Wirz karena program itu ”diimplementasikan melalui paksaan dan kekerasan”.

Pada 1936, Gereja Katolik Roma mendapatkan izin dari pemerintah kolonial Belanda untuk membuka paroki di seluruh wilayah Papua. Keputusan ini belakangan memicu persaingan dengan misionaris Protestan, salah satunya Utrechtse Zendings Vereniging .

Budi Hernawan, pakar humaniter dan teologi, menyebut “gesekan Misi Katolik dan Zending” terkait pengabaran injil ini terjadi, antara lain di Mimika dan daerah pegunungan seperti Lembah Ilaga.

Pada 1936 itu juga, Ordo Fransiskan mulai mengirim para imam mereka ke Papua. Ordo Basilika Bunda Dukacita melakukan hal serupa pada 1956, lalu diikuti Ordo Salib Suci.

Ipenburg menulis, dalam misi pengabaran injil, gereja-gereja merayu orang-orang asli Papua dengan “hadiah-hadiah kecil seperti rokok, sirih dan pinang”. Gereja menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan.

Melalui konversi menjadi seorang Kristiani, tulis Ipenburg dalam kritiknya, orang asli Papua bisa mendapat peluang melakukan perjalanan keluar dari kampung dan menikah dengan seseorang dari luar klan mereka.

Sejak saat itu, hampir seluruh orang asli Papua menganut iman Kristiani. Merujuk data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, dari seluruh total penduduk, pemeluk iman kristiani di Tanah Papua mencapai 85%. Dari angka itu, 69% di antaranya menganut Protestan, sementara 16% memeluk Katolik.

Sampai hari ini, gereja menjadi institusi yang melekat dalam kehidupan orang asli Papua—dari urusan sekolah hingga kesehatan.

Dalam berbagai peristiwa, gereja juga kerap menjadi tempat orang-orang asli Papua mencari perlindungan di tengah konflik bersenjata antara milisi pro-kemerdekaan dan aparat TNI/Polri.

Bagi orang asli Papua, gereja adalah pihak yang mereka percaya, kata Pendeta Jacky Manuputy, Sekretaris Umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia, di Jakarta, Selasa (03/05).

“Gereja dilihat sebagai pihak yang bisa berdiri bersama-sama dengan mereka,” ujar Jacky.

Dalam berbagai peristiwa konflik bersenjata, gereja merupakan salah satu pengungsian warga sipil asli Papua. Iman kristiani disebutnya memberi harapan bagi orang-orang asli Papua yang dirundung persoalan konflik.

“Kekristenan adalah lapis terakhir orang asli Papua yang tidak bisa dirusak,” tuturnya.

Namun kondisi itu, menurut Jacky, kerap membuat pemerintah mencurigai gereja.

“Pertanyaan kami dari dulu, apakah pemerintah percaya kepada gereja?” kata Jacky.

Sejarah Katolik di Papua di tengah dinamika ‘persoalan hak asasi manusia’

Salah satu relasi gereja dan orang asli Papua terkait konflik bersenjata terjadi pada 1994 di Timika, berkaitan dengan Freeport-McMoRan—kini PT Freeport Indonesia.

Pemerintah Indonesia dan perusahaan yang menambang emas dan tembaga tersebut telah menampik tuduhan keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut.

Yosepha Alomang adalah perempuan suku Amungme yang lahir di Lembah Tsinga, sebuah daerah di bawah Nemangkawi—gunung yang disebut para geolog dan Freeport sebagai Etsberg. BBC News Indonesia bertemu Yosepha awal Agustus 2024 lalu.

Pada Oktober 1994, lima orang dari Suku Amungme ditangkap oleh aparat. Yosepha adalah satu dari mereka.

Pada malam penangkapan itu di Kwamki Lama, kata Yosepha, dia sudah terlelap. Pada jam yang dia tidak ingat betul, Yosepha terbangun. Anak-anaknya yang tinggal di depan rumahnya datang dalam tangis.

Sekitar enam aparat dengan senjata berdiri di belakang anak perempuannya. Tanpa menjelaskan apapun, kata Yosepha, dia ditangkap dan dibawa ke pos militer di Koperapoka.

“Kau tahu bahasa Indonesia. Saya tanya kau.”

“Mereka tidak ada bilang begitu. Mereka langsung masuk rumah, ambil saya. Itukah Republik Indonesia punya aturan?“ kata Yosepha.

Empat orang lain yang malam itu juga ditangkap aparat adalah Matias Kelanangame, Nikolaus Magal, Juliana Magal, dan Jakobus Alomang.

Mereka ditangkap atas tuduhan melindungi Kelly Kwalik—seorang guru yang pada dekade 1970-an bergabung dengan milisi pro-kemerdekaan.

Kelly berada dalam pusaran Peristiwa 1997, saat milisi memotong pipa konsentrat milik Freeport untuk menggugat apa yang mereka yakini sebagai “ketidakadilan di tanah leluhurnya“.

Dari Koperapoka, Yosepha dan empat orang lainnya dibawa ke mess panglima. Di sana, mereka ditahan di dalam dua kontainer berbeda. Yosepha bersama Juliana, dan Matias disatukan bersama Nikolaus serta Jakobus.

Sebelum dimasukkan ke kontainer itu, kata Yosepha, aparat menuduh Juliana sebagai ibu kandung Kelly. Juliana tidak bisa berbahasa Indonesia. Juliana hanya bertutur kata dalam bahasa ibunya.

“Saya mama tuanya, bukan Kelly Kwalik punya Mama. Saya istri kepala suku di Tsinga. Saya seorang janda,” kata Yosepha mengulangi perkataan Juliana.

Dari kelima orang Amungme itu, Yosepha adalah yang paling terakhir diinterogasi aparat.

”’Kau ini yang siapa? Kau ini Yosepha Alomang to? Kau ini mamanya OPM (Organisasi Papua Merdeka)’,” kataYosepha menirukan perkataan aparat kepadanya.

“’Saya bukan OPM. Saya masyarakat Timika’,” kata Yosepha, mengulangi ucapannya ketika itu.

“’Kelly Kwalik itu keponakan suami saya. Tapi Kelly Kwalik itu OPM di sana (hutan). Kami ini orang kota’,” ujarnya.

Aparat tetap menahan kelimanya. Yosepha dan Juliana berada di dalam kontainer yang berisi kotoran manusia, setinggi panggul mereka. Keduanya makan dan tidur di dalam kontainer itu.

“Selama satu bulan lebih empat hari,” ujar Yosepha.

Di hari-hari yang tak berbeda jauh, pada Oktober 1994, aparat juga menangkap empat orang Amungme lainnya—atas tuduhan yang sama: memiliki hubungan keluarga dan melindungi Kelly.

Keempat laki-laki itu bermarga Kwalik. Mereka adalah Sebastianus, Romulus, Marius, dan Hosea. Setelah ditangkap, mereka juga ditahan di dalam kontainer, di lokasi yang sama dengan Yosepha. Namun keempatnya tak pernah kembali ke keluarga mereka.

Rentetan penangkapan, termasuk kematian orang Amungme, dalam rentang 6 Oktober 1994 hingga 31 Mei di Mimika itu, dikompilasi dalam sebuah laporan yang diteken Herman Munninghoff. Saat itu imam dari ordo Fransiskan tersebut memimpin Keuskupan Jayapura.

Theo van den Broek, kolega Munninghoff, mengisahkan bagaimana sang uskup berkeras untuk mengungkap peristiwa penangkapan dan kekerasan tersebut.

”Saya ingat pada 1995 sekelompok orang Amungme datang ke Jayapura dan meminta bertemu dengan Uskup…Ada 10 atau 15 orang yang bicara tentang penderitaan suku mereka akibat Freeport dan militer,” kata van den Broek, seperti dicatat dalam buku Franciscans in Papua.

”Beberapa orang menunjukkan bekas luka yang mereka alami akibat perbuatan tentara dan polisi.

“Mereka sudah mengusahakan segala cara, tapi mereka mengambil kesimpulan, ‘tidak ada harapan lagi bagi kami‘,“ kata van den Broek.

Yosepha adalah salah satu yang bertemu van den Broek saat itu.

“Saya lari ke uskup, ke pastor. Saya masukkan ke laporan ke mereka,” tuturnya.

Setelah pertemuan itu, van den Broek memulai sebuah riset yang didasarkan pada laporan yang lebih dulu dipublikasikan Elsham—sebuah lembaga advokasi HAM ternama Papua saat itu.

Van den Broek memeriksa dan memvalidasi enam dari total kasus kekerasan yang dicatat Elsham. Kesimpulan gereja: 17 warga sipil tewas, empat orang hilang, 48 orang lainnya ditahan dan dianiaya.

“Kami memutuskan memverifikasi dan mempublikasikan laporan ini atas nama Gereja Katolik di Papua, agar mendapat legitimasi kelembagaan,“ ujarnya.

Uskup Munninghoff lalu menandatangani laporan itu. Dia mempresentasikannya dalam pertemuan Konferensi Wali Gereja di Jakarta, Agustus 1995.

Belakangan, kata van den Broek, mereka baru menyadari bahwa laporan itu bocor ke luar forum para imam Katolik. Temuan mereka menjadi berita utama, termasuk di surat kabar New York Times.

“Uskup Jayapura mempublikasi laporan gereja pertama tentang pelanggaran HAM di Papua,” kata van den Broek tentang narasi yang muncul di media massa.

Panglima Kodam Trikora waktu itu, Mayor Jenderal I Ketut Wirdhana, membantah laporan yang disusun Keuskupan Jayapura itu. Dia balik menuduh, Munninghoff memutarbalikkan fakta.

Bagaimanapun, laporan itu mendorong Komnas HAM menggelar investigasi. Mereka menyimpulkan terjadi pelanggaran HAM terhadap warga sipil di Timika, diduga dilakukan aparat, tapi bukan oleh Freeport.

Apakah persoalan Papua benar-benar akan sampai ke meja Paus Fransiskus?

Prosesi Jalan Salib yang diambil orang-orang Papua di Jakarta dan Jayapura pada Kamis (04/09) tidak berjalan mulus.

Esther mengeklaim rute Jalan Salib di Jayapura mengalami perubahan karena sempat ada upaya penghentian dari kepolisian setempat. Esther menyebut awalnya rute mereka meliputi Expo Waena dan menuju lingkaran Abepura. Namun, rute kemudian berubah menjadi menuju lapangan Trikora.

“[Polres] mengatakan pesta demokrasi [Pilkada November] sudah mendekat dan Papua harus aman,” ujar Esther.

Sama seperti Esther, Ambrosius Mulait menyebut polisi ingin menghentikan mereka. Bahkan, kata Ambrosius, petugas kepolisian sempat merebut salib dan poster-poster yang dibawa para pengunjuk rasa.

“Kami menyayangkan aksi polisi yang represif,” imbuhnya.

BBC News Indonesia telah menghubungi aparat kepolisian termasuk Kabid Humas Polda Papua dan Polres Jakarta Pusat. Namun, hingga berita ini diturunkan, mereka belum memberikan tanggapan.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengkritik penjagaan ketat terhadap Paus Fransiskus di Indonesia sehingga masyarakat Papua tidak menyuarakan aspirasi mereka secara bebas.

“Pengetatan” yang dilakukan dalam lawatan Paus Fransiskus, sambung Theo, bahkan terlihat dalam dua anak yang secara simbolis “menyambut” ketibaan Paus Fransiskus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta pada Selasa (03/09).

Seperti diketahui, salah satu anak yang menyambut Paus Fransiskus adalah anak Maluku yang mengenakan baju adat Papua.

“Pertanyaannya kenapa orang Papua yang tidak dimunculkan? Orang Maluku itu bukan orang Papua. Itu pelecehan yang dilakukan negara terhadap orang asli Papua,” tegas Theo.

Karena itu, Theo pun mengatakan “sangat tidak mungkin” akan ada perubahan situasi di Papua dalam konteks pelanggaran HAM setelah kedatangan Paus Fransiskus.

Theo berpendapat aspirasi ini justru akan lebih berpotensi “terdengar” oleh Paus Fransiskus apabila dilakukan di negara-negara lain yang biasa menyuarakan permasalahan Papua seperti negara-negara kepulauan Pasifik, atau Timor Leste.

“Jadi, memang kedatangan Paus [di Indonesia] tidak ada pengaruhnya bagi Papua,” ujar Theo.

“Kalau di Indonesia ini kan ruang demokrasi tertutup. Jadi orang mau menyampaikan pendapat pasti tertutup,” ujarnya.

Pastor Alexandro F. Rangga dari Ordo Fatrum Minorum (OFM) St. Fransiskus Duta Damai sendiri mengharapkan pemberitaan mengenai Jalan Salib bisa sampai ke Paus Fransiskus.

“Sebenarnya kami mengedit buku ‘Surat Cinta Umat Katolik Papua Kepada Paus’ tetapi sepertinya tidak akan sampai kepada Paus,” ujar Alexandro.

BBC News Indonesia memperoleh salinan buku digital yang dimaksud. Buku itu berisikan kumpulan doa dan harapan berbagai lapisan masyarakat umat Katolik Papua yang disampaikan kepada Paus Fransiskus, namun batal karena proses skrining yang ketat di Jakarta.

Salah satunya adalah dari Yosepha Alomang yang meminta agar “Bapa [Fransiskus] mohon bicara dengan pemerintah Indonesia supaya mereka memberikan hak politik kami untuk menentukan nasib kami sendiri.”

BBC News Indonesia berupaya menghubungi sejumlah perwakilan Istana Negara dan Kementerian Luar Negeri untuk merespons. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan.

sumber : bbc

Share this article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *